TEORI-TEORI DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN:
KLASIK DAN NEO-KLASIK

Secara umum disepakati bahwa pembangunan adalah suatu proses perubahan yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan manusia yang meliputi perbaikan tingkat hidup, kesehatan, pendidikan, serta keadilan. Karena tumpuan dari proses perubahan tersebut adalah bidang ekonomi, maka definisi dari pembangunan sering terfokus kepada definisi pembangunan ekonomi, yaitu: (1) pemenuhan kesejahteraan individu yang sering diukur dalam bentuk pendapatan per kapita, (2) pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup secara umum, dan (3) pemenuhan akan adanya harga diri (self-esteem dan self-respect). (Goulet, 1971; Pearce and Warford, 1993).

Praktek-praktek perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, mazhab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit dari masing-masing negara. Teori atau paradigma tersebut dapat diklasifikasikan dan dirangkum sebagai berikut:

KLASIK

Teori Pembangunan Klasik.
Teori Pembangunan Klasik memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx.

1. Aliran Durkheim.

Menurut Durkheim pembangunan adalah proses perubahan masyarakat dalam dimensi kuantitatif dan kualitatif, yaitu adanya perubahan orientasi masyarakat dari berfikir tradisional menjadi modern. Karena itu akan terjadi perubahan tata nilai masyarakat dari yang berbasiskan solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik. Indikator yang bisa dilihat adalah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi sosial ekonomi modern. Implikasi dari konsep pembangunan ini, masyarakat berkembang secara bertahap sebagai berikut:
• Tahap Pra Industri: pada tahap ini hubungan sosial yang berkembang pada umumnya hanya terjadi dalam kelompok masyarakat (isolasi fungsional);
• Tahap Industrialisasi: sebagai akibat dari proses industrialisasi maka terjadi perembesan (spill over) struktur budaya modern dari pusat yang berada di kota ke daerah pinggiran yang berada di pedesaan;
• Tahap Perkembangan: pusat secara terus menerus menyebarkan modernisasi sehingga tercapai keseimbangan hubungan fungsional antara pusat dan pinggiran.

2. Aliran Weber.

Weber berpendapat bahwa pembangunan adalah perubahan orientasi masyarakat dari tradisional-irasional menuju modern-rasional. Indikatornya adalah munculnya birokratisasi dalam setiap unsur kehidupan yang dicapai melalui distribusi kekuasaan serta munculnya budaya oposisi di wilayah pinggiran sebagai respon terhadap dominasi pusat yang berkepanjangan.

3. Aliran Marx.

Sedangkan menurut Karl Marx, pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat konflik sosial antar kelas, yang secara bertahap akan merubah kehidupan masyarakat. Esensi dari teori ini adalah pembangunan akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas (classless society) dan materialisme sebagai hirarkinya. Berdasarkan teori Marx, masyarakat terbagi atas: (1) masyarakat primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4) masyarakat sosialis, dan (5) masyarakat komunis.

NEO-KLASIK

1. Tesis Pembangunan Dualistik.

Tesis ini berlandaskan fenomena eksistensi ganda, yaitu adanya masyarakat yang kaya (superior) dan adanya masyarakat yang miskin (inferior). Tesis ini memeiliki empat syarat:
• Dualisme merupakan prasyarat yang memungkinkan pihak yang superior dan inferior hidup berdampingan pada suatu tempat dan waktu yang sama.
• Ko-eksistensi superior dan inferior bukan sesuatu yang bersifat transisional tetapi sesuatu yang bersifar kronis.
• Superioritas dan inferioritas tidak menunjukan tanda-tanda melemah, bahkan keduanya cendrung menguat untuk menjadi kekal.
• Saling keterkaitan antara unsur superioritas dan unsur inferioritas sehingga keberadaan unsur superioritas sedikit atau sama sekali tidak meningkatkan unsur inferioritas.

2. Teori Perubahan Struktural.
Teori Perubahan Struktural ini mempunyai dua model, yaitu Model Pembangunan Lewis dan Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan.

a. Model Pembangunan Lewis.

Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor: (1) Sektor Tradisional, dengan ciri-ciri di pedesaan, subsisten, kelebihan tenaga kerja dan produktivitas marjinalnya sama dengan nol; (2) Sektor Modern, dengan ciri-ciri di perkotaan, industri, produktivitasnya tinggi, sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditranfer sedikit demi sedikit dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern, yang dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern.

b. Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan Hollis Chenery .

Model ini dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan struktur produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia, diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi permintaan konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.

3. Teori Tahapan Linear (Tahapan Pertumbuhan Ekonomi Rostow).
Menurut Rostow, perubahan dari terbelakang (underdeveloped) menjadi maju (developed) dapat dijelas dalam seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara. Sebelum suatu negara berkembang menjadi negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap tinggal landas (take off). Teori ini menyarankan agar negara-negara sedang berkembang (developing country) tinggal mengikuti saja seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan berkembang menjadi negara maju. Prasyarat penting untuk dapat tinggal landas, suatu negara harus mampu membangun pertanian, industri, dan perdaganganya sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Prasyarat penting lainnya adalah harus ada mobilisasi tabungan dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Harrod-Domar mengemukakan bahwa Pertumbuhan Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Product/GNP) secara langsung bertalian erat dengan rasio tabungan, yaitu lebih banyak bagian GNP yang ditabung dan diinvestasikan maka akan lebih besar lagi pertumbuhan GNP tersebut. Dari model yang dikemukakan oleh Harrod-Domar tersebut Rostow menyimpulkan bahwa negara-negara yang dapat menabung 10-20% dari GNP-nya dapat tumbuh dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara yang tabungannya kurang dari kisaran tersebut. Di negara-negara berkembang pembentukan modal relatif rendah sehingga untuk memperoleh pertumbuhan yang diinginkan dibutuhkan pinjaman luar negeri.

4. Teori Revolusi Ketergantungan Internasional.

Pada dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian mendapat dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memadang bahwa negara-negara Dunia Ketiga telah menjadi korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan ekonomi internasional maupun domestik. Negara-negara Dunia Ketiga telah terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominasi oleh negara-negara kaya. Teori ini mempunyai dua aliran, yaitu Model Ketergantungan Kolonial dan Model Paradigma Palsu.

a. Model Ketergantungan Kolonial.

Teori Ketergantungan ini muncul sebagai antitesi terhadap Teori Modernisasi dan merupakan variasi dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu sendiri berarti berarti situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi negara lain dan ekonomi negara tersebut tunduk padanya.

Secara sengaja negara-negara kaya mengeksploitasi dan menelantarkan ko-eksistensi negara-negara miskin negara miskin dalam sistem internasional yang didominasi oleh hubungan kekuasaan yang sangat tidak seimbang antara pusat atau centre (negara-negara maju) dan pinggiran atau periphery (negara-negara berkembang). Praktek dan kondisi tersebut menggoda negara-negara miskin untuk mandiri dan bebas dalam upaya-upaya pembangunan mereka yang sulit dan bahkan kadang-kadang serba tidak mungkin.

Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara sedang berkembang (tuan tanah, pengusaha, pejabat, militer) yang menikmati penghasilan tinggi, status sosial, dan kekuasaan politik merupakan kaum elit dalam masyarakat. Kepentingannya, sengaja atau tidak sengaja melestarikan ketidakmerataan dan eksploitasi ekonomi oleh negara-negara maju terhadap negara-negara miskin karena secara langsung atau tidak langsung mereka mengabdi kepada kekuasaan kapitalis internasional.

b. Model Paradigma Palsu.

Keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga disebabkan oleh kesalahan atau ketidaktepatan nasihat/saran yang diberikan oleh para penasihat dan para pakar internasional dari lembaga-lembaga bantuan negara maju dan donor-donor multinasional. Nasihat atau saran tersebut mungkin bermaksud baik tapi sering tidak mempunyai informasi yang cukup tentang negara yang akan dibantu terutama negara-negara sedang berkembang.


5. Teori Kontra-Revolusi Neoklasik.

Teori ini muncul pada dasawarsa 1980-an yang berhaluan konservatif yaitu politik yang dianut Amerika, Kanada, Inggeris, dan Jerman Barat. Teori ini menyerukan agar diadakan swastanisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah di negara-negara maju serta munculnya himbauan untuk meninggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian serta deregulasi di negara-negara berkembang. Teori ini menegaskan bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang bersumber dari buruknya alokasi sumberdaya yang bertumpu pada kebijakan-kebijakan harga yang tidak tepat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan.

REFERENSI:

Pearce, D.W. and J.J. Wardford (1993) World Without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.

TODARO, M.P. (1989) Economic Development in the Third World, Foutrh Edition. Longman Group Limited.

PARADIGMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
(SUSTAINABLE DEVELOPMENT PARADIGM)


LATAR BELAKANG

Hingga dekade 1980-an teori dan praktek pembangunan sangat didominasi oleh paradigma Neo-Klasik yang mengejar pertumbuhan ekonomi (economic groth) yang dikotomis, karena di satu sisi memperhitungkan efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, gandrung pada efisiensi teknologi namun di sisi lain susutnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan tidak diperhitungkan dalam akuntansi pembangunan (Development Accounting Matrix). Kemudian kenyataan empirik membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi sesungguhnya bersifat semu bahkan dalam jangka panjang menghasilkan kalkulasi yang negatif. Manakala telah sampai pada deplesi sumberdaya alam disertai parahnya destruksi lingkungan pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat bahkan menjadi negatif.
Karena itu para pakar perencanaan pembangunan yang menganut faham environmentalist mulai memikirkan konsep dan strategi baru dari pembangunan yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi namun konservasi lingkungan tetap terpelihara dengan baik. Perubahan persepsi tersebut dikenal dengan istilah Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan. Sejak tahun 1987 beberapa definisi dari Pembangunan Berkelanjutan disepakati dan penerapan teori dan prinsipnya pun ditetapkan.
Empat puluh tahun terakhir Indonesia menganut paradigma pembangunan yang tipikal mengeksploitasi sumberdaya alam dengan segala dampak negatifnya terhadap lingkungan. Itupun hanya mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak lebih dari 7 persen dan sulit dipertahankan. Susutnya sumberdaya alam seperti minyak, bahan tambang, hutan nyaris bagi Indonesia untuk tidak dapat melanjutkan pembangunan. Karena itu mau tidak mau paradigma lama harus mulai ditinggalkan sebelum mencapai titik dead-lock. Paradigma baru yang lebih sustainable harus mulai dirintis dan diimplementasikan sehingga mampu menciptakan modus-modus ekonomi baru yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan dampak negatif yang seminimal mungkin terhadap destruksi lingkungan.

LAHIRNYA PARADIGMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Sampai dengan dekade 1980-an perencanaan dan strategi pembangunan masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth), baik pada negara-negara sosialis yang menerapkan perencanaan yang terpusat maupun pada negara-negara kapitalis yang menerapkan perencanaan yang liberal. Filosofi pertumbuhan ekonomi dilatarbelakangi oleh Teori Neo-Klasik dimana pertumbuhan merupakan fungsi dari modal dan teknologi sedangkan sumberdaya alam sama sekali tidak diperhitungkan karena dianggap pemberian alam yang melimpah. Filosofi tersebut telah melahirkan berbagai ekses terhadap lingkungan, sosial, budaya, maupun hak azazi manusia. Dampak dari penerapan filosofi tersebut telah menimbulkan kemiskinan yang merajalela, rusaknya ekosistem, pencemaran, bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia dan kemanusiaan (Pearce and Warford, 1993).
Pengalaman hingga tahun 1980-an memperlihatkan bahwa hambatan pertumbuhan ekonomi terjadi apabila faktor sumberdaya alam dan lingkungan tidak dikelola dengan baik. Jika ekonomi dan lingkungan dikelola dengan baik maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi dalam lingkungan yang terpelihara kelestariannya. Perubahan persepsi di atas dikenal dengan istilah Sustainable Development sebagai babak baru dari teori pembangunan dan sekaligus mengakhiri perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan lingkungan (Ibid.).

KONSEP DAN DEFINISI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Ada berbagai definisi dari Pembangunan Berkelanjutan. Tapi semua definisi berfokus pada bagaimana agar perekonomian dapat tetap berlanjut dalam jangka panjang, terutama untuk memberi kesempatan pada generasi yang akan datang memperoleh kehidupan yang lebih baik. World Commission on Environment and Development (WECD), sejak tahun 1987 memberikan deskripsi dari Pembangunan Berkelanjutan sebagai berikut:

“Sustainable development is development that meets the needs of present generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs“ (Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka).

Definisi lain dari Pembangunan yang berkelanjutan:

“The economic development in a specified area (region, nation, the globe) is sustainable if the total stock of resources - human capital, physical reproducible capital, environmental resources, exhaustible resources does not decrease over time” (Pembangunan ekonomi di suatu daerah tertentu (wilayah, negara, dunia) dikatakan berkelanjutan bila jumlah total sumberdaya - tenaga kerja, barang modal yang dapat diproduksi kembali, sumberdaya alam, sumberdaya yang habis pakai tidak berkurang dari waktu ke waktu) (Ibid.)

PENERAPAN TEORI DAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Secara teoritis prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan pada berbagai sektor pembangunan. Sebagai contoh diambil pada Sektor Pertanian. Untuk pembangunan pertanian yang berhasil, Bank Dunia (di dalam Conway and Barbier 1990: 23) menyarankan agar tiga kriteria berikut dapat dipenuhi:

First, it must be sustainable, by insuring the conservation and proper use of renewable resources (Pertama, harus berkelanjutan, dengan menjamin pelestarian dan penggunaan yang wajar dari sumberdaya yang terbarukan);
Second, it must promote economic efficiency (Kedua, harus meningkatkan efisiensi ekonomi);
Third, its benefits must be distributed equitably (Manfaatnya harus terdistribusi secara merata).

Untuk kasus pembangunan pertanian, konsep dan definisi dari pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture) antara lain dijabarkan oleh Conway dan Barbier (1990: 10) sebagai pertanian yang:

· High, efficient and stable production (Produksinya tinggi, efisien dan stabil);
· Low and inexpensive inputs, in particular making full use of the techniques of organic farming and indigenous traditional knowledge (Menggunakan sarana produksi yang rendah dan murah, terutama menggunakan sepenuhnya teknik pertanian organik dan pengetahuan-pengetahuan lokal dan tradisional);
· Food security and self-sufficiency (“Keamanan pangan” dan swasembada pangan);
· Conservation of wildlife and biological diversity (Melestarikan “kehidupan liar” dan keanekaragaman hayati);
· Preservation of traditional values and the small family farm (Melestarikan nilai-nilai tradisional dan pertanian keluarga berskala kecil);
· Help for the poorest and disadvantaged: in particular those on marginal land, the landless, women, children and tribal minorities (Menolong kaum termiskin dan terpojokan: terutama petani yang berlahan sempit, buruh tani, kaum perempuan, anak-anak dan kaum suku minoritas);
· A high level of participation in development decision by the farmers themselves (Partisipasi yang tinggi dari para petani sendiri dalam proses pengambilan keputusan-keputusan pembangunan).

Penerapan Konsep, Prinsip dan Tujuan Pembangunan Bekelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan secara luas dapat dilakukan dengan menetapkan kaidah-kaidahnya (Djajadiningrat, 1992; Pearce and Warford, 1993):

Pemerataan dan Keadilan (Equity and Justice).

Pemerataan dan Keadilan di sini menyangkut dimensi etika, yakni adanya kesenjangan antara negara ataupun daerah yang kaya dan miskin serta masa depan generasi mendatang yang tidak dapat dikompromikan dengan kegiatan generasi masa kini. Karena itu aspek Pemerataan dan Keadilan ini harus dijawab baik untuk generasi masa kini maupun untuk generasi mendatang. Karena itu strategi dan perencanaan pembangunan harus dilandasi premis seperti: distribusi penguasaan lahan, distribusi faktor-faktor produksi, pemerataan peran dan kesempatan kaum wanita, kelompok marjinal, dan lain sebagainya.

Pendekatan Integratif (Integrative Approach).

Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara-cara yang bermanfaat atau merusak. Keberlanjutan masa depan hanya dimungkinkan bila pengertian tentang kompleknya keterkaitan antara sistem alam dan sosial dapat difahami dan cara-cara yang integratif (terpadu) diterapkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Perspektif Jangka Panjang (Long Term Perspctive).

Pembangunan berkelanjutan mesyaratkan dilaksanakan penilaian yang berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur pengenaan disconting. Perspektif jangka panjang merupakan visi dari pembangunan berkelanjutan sedangkan saat ini visi jangka pendek masih mendominasi dalam pengambilan keputusan.

Keberlanjutan Ekologis (Ecological Sustainability).

Keberlanjutan ekologis menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Untuk menjamin keberlanjutan ekologis integritas tatanan lingkungan harus dipelihara melalui upaya-upaya peningkatan daya dukung, daya asimilasi, dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources).

Keberlanjutan Ekonomi (Economic Sustainability).

Menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi ekonomi. Tiga unsur utama untuk mencapai keberlanjutan ekonomi makro yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, serta meningkatkan kemakmuran dan distribusi kemakmuran.

Keberlanjutan Sosial Budaya (Social - Cultural Sustainability).

Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan dalam keadilan sosial, harga diri manusia, dan peningkatan kualitas hidup seluruh manusia. Keberlanjutan segi sosial budaya mempunyai sasaran: stabilitas penduduk, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, memelihara keanekaragaman budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

Keberlanjutan Politik (Political Sustainability).

Keberlanjutan politik dicirikan dengan adanya penghormatan terhadap hak azazi manusia, demokrasi, serta kepastian kesediaan pangan, air dan pemukiman.

Keberlanjutan Pertahanan dan Keamanan (Defense and Security Sustainability).

Keberlanjutan kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman, ganguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung dan tidak langsung dapat membahayakan integritas, identitas, keberlangsungan negara dan bangsa.
Implementasi dari kedelapan kaidah di atas sejauh ini dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok analisa, yaitu analisa biaya ekonomi (economic cost analysis), analisa biaya lingkungan (environmental cost analysis), dan analisa biaya sosial (sosial cost analysis). Suatu perencanaan proyek-proyek pembangunan yang dikatakan berkelanjutan (sustainable) harus dibuktikan dengan analisa, bahwa manfaat atau benefit lebih besar dari cost (economic cost + environmental cost + sosial cost), atau bila sebaliknya, proyek-proyek pembangunan tersebut dikatakan tidak berkelanjutan.

INDIKATOR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Untuk mengetahui keberhasilan rencana pembangunan dan implementasinya perlu dilakukan evaluasi. Sesuai dengan teknik dan jenis perencanaannya, evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan mikro seperti evaluasi proyek (project evaluation), evaluasi sektoral (sectoral evaluation) ataupun dengan pendekatan makro seperti evaluasi komprehensif (comprehensive evaluation). Selanjutnya dalam mengevaluasi perlu ditetapkan indikator-indikator yang tepat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
TODARO (1989) mengemukakan beberapa ciri umum Negara-negara Berkembang (Developing Countries) yang umumnya masih memiliki standar hidup yang rendah dibandingkan dengan Negara-negara Maju (Developed Countries). Ciri-ciri tersebut adalah: standar hidup yang rendah; produktivitas yang rendah; tingkat pertumbuhan penduduk dan beban ketergantungan yang tinggi; tingkat pengangguran yang tinggi dan meningkat terus serta kekurangan pekerjaan; sangat tergantung pada produksi pertanian dan barang ekspor primer; dominasi, ketergantungan dan kepekaan yang besar dalam hubungan internasional.

Ciri-ciri di atas sekaligus dapat diturunkan menjadi indikator keberhasilan pembangunan dari Negara-negara Berkembang tersebut, yaitu:

1. Pendapatan Nasional;
2. Pertumbuhan Ekonomi;
3. Pendapatan per Kapita;
4. Distribusi Pendapatan Nasional;
5. Kemiskinan;
6. Kesehatan Masyarakat;
7. Pendidikan Masyarakat;
8. Produktivitas Masyarakat;
9. Pertumbuhan Penduduk;
10. Pengangguran dan Setengah Menganggur.

Pendapatan Nasional.

Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Product/GNP) suatu negara adalah hasil dari aktivitas perekonomian secara keseluruhan dari negara tersebut. Pendapatan Nasional Bruto per Kapita sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara. Bagi Negara-negara Berkembang yang umumnya pendapatannya hanya berasal dari dalam negeri (domestic) GNP lebih dikenal dengan istilah Gross Domestic Product (GDP) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Konsep pendapatan ini dapat diturunkan ke tingkat regional menjadi pendapatan regional bahkan sampai ke tingkat lokal seperti misalnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pertumbuhan Ekonomi.

Tingkat Pertumbuhan Ekonomi diukur dengan prosentase peningkatan GNP atau GDP dari tahun ke tahun: (GDPt – GDPt-1)/GDPt x 100%. Sering pula diukur dalam bentuk rata-rata per periode tertentu misalnya per 5 tahun, 10 tahun, atau 20 tahun sesuai dengan kebutuhan analisa. Sebagai contoh, menurut sistem klasifikasi PBB, negara-negara yang tergolong “paling tidak berkembang” (underdeveloped) hanya mempunyai rata-rata pertumbuhan GNP minus 0,3% per tahun antara tahun 1965 sampai 1985. Sedangkan pada negara-negara yang tergolong “berkembang” (developing) mempunyai rata-rata pertumbuhan GNP sebesar 3,7% per tahun pada periode yang sama.

Pendapatan Rata-rata per Kapita.

Pendapatan Rata-rata per Kapita diukur dari GDP pada tahun tertentu dibagi Jumlah Penduduk pada tahun yang sama: GDPt/JPt biasanya dikalkulasi dalam Dollar Amerika Serikat (US $). Ukuran ini baru menunjukan potensi tingkat kesejahteraan ekonomi secara umum, belum bisa menunjukan tingkat pemerataan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya. Dengan kata lain, pada suatu negara yang Pendapatan Rata-rata per Kapita-nya tinggi mungkin saja sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan.

Distribusi Pendapatan Nasional.

Untuk lebih memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang pemerataan kesejahteraan ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan sering diukur dengan membagi penduduk menjadi 5 atau 10 kelompok (quintiles atau deciles) sesuai dengan tingkat pendapatannya. Kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan. Cara lain yang lazim digunakan untuk melihat distribusi pendapatan adalah dengan menggunakan Kurva Lorenz. Semakin besar cekungan kurva semakin tinggi tingkat ketidakmerataan. Selanjutnya ukuran distribusi pendapatan dapat diukur dengan “Rasio Konsentrasi Gini” (Gini Consentration Ratio) atau lebih sederhana disebut dengan Koefisien Gini.

Koefisien Gini adalah ukuran ketidakseimbangan/ketimpangan (pendapatan, kesejahteraan) agregat (keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).

Dalam prakteknya, Koefisien Gini pada negara-negara yang dikenal begitu tajam ketimpangan kesejahteraan di kalangan penduduknya berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata, Koefisien Gini berkisar antara 0,20 sampai 0,35.

Kemiskinan.

Tingkat kemiskinan diukur dengan menentukan konsep “Kemiskinan Absolut” (Absolute Poverty) atau “Garis Kemiskinan” (Poverty Line), yaitu:

“tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup”.

Angka Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) di atas akan berbeda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah lainnya, serta berubah dari waktu ke waktu. Pernah ditetapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US $ 125,-/orang/tahun (atas dasar harga konstan 1980). Itu berarti seseorang yang konsumsinya kurang dari US $ 125,- per tahun dapat digolongkan berada di bawah garis kemiskinan atau berada dalam kemiskinan absolut. Besar-kecilnya prosentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan/berada dalam kemiskinan absolut menunjukan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat dari suatu negara.

Kesehatan Masyarakat.

Tingkat kesehatan masyarakat dapat terukur dari “Harapan Hidup Rata-rata”(Life Expectancy Rate) dan “Tingkat Kematian Bayi Rata-rata” (Infant Mortality Rate) yaitu jumlah bayi yang mati sebelum usia 1 tahun setiap 1000 kelahiran. Harapan Hidup Rata-rata di negara-negara paling terbelakang di dunia pada tahun 1988 misalnya hanya mencapai 49 tahun, dibanding dengan 57 tahun di negara-negara Dunia Ketiga dan 73 tahun di negara-negara maju. Sedangkan Tingkat Kematian Bayi Rata-rata mencapai 124 di negara-negara yang terbelakang dibanding 96 di negara-negara berkembang dan 15 di negara-negara maju.

Pendidikan Masyarakat.

Salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat pendidikan masyarakat adalah “Tingkat Melek Huruf” (Literacy) atau sebaliknya “Tingkat Buta Huruf” (Iliteracy). Sebagai contoh, di antara negara-negara yang paling terbelakang Tingkat Melek Huruf Rata-rata hanya mencapai 34% dari jumlah penduduk dibanding dengan di negara-negara berkembang dan negara-negara maju yang mencapai masing-masing 65% dan 99%.

Produktivitas Masyarakat.

Konsep produktivitas masyarakat sangatlah kompleks. Pada dasarnya produktivitas masyarakat adalah kemampuan individu-individu dalam masyarakat tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Hal itu meliputi keterampilan, kemampuan manajerial, daya kreasi, serta emosi dan ambisi untuk hidup lebih sejahtera. Tingkat produktivitas tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang lebih rendah dibanding negara-negara maju. Produktivitas yang rendah tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kelesuan fisik dan ketidakmampuan fisik maupun mental untuk menahan tekanan pekerjaan sehari-hari.

Pertumbuhan Penduduk.

Pertumbuhan Penduduk (Population Growth) dihitung dari “Tingkat Kelahiran” (Birth Rate) dikurangi “Tingkat Kematian” (Mortality Rate). Tingkat kelahiran di negara-negara berkembang pada umumnya sangat tinggi yaitu berkisar antara 30-40 setiap 1000 penduduk per tahun, sedangkan di negara-negara maju hanya kurang dari setengahnya. Sementara itu “Tingkat Kematian”(jumlah orang yang meninggal setiap 1000 penduduk per tahun) di negara-negara berkembang juga relatif tinggi dibanding dengan negara-negara maju. Karena adanya usaha-usaha perbaikan kesehatan di negara-negara berkembang, tingkat kematian juga menjadi relatif rendah. Akibatnya “Rata-rata Pertumbuhan Penduduk” di negara-negara berkembang menjadi sekitar 2,1% dibandingkan dengan 0,6% di negara-negara maju.

Tingkat Pengangguran dan Setengah Menganggur.

Pengertian dari “Setengah Menganggur”(underemployment) adalah penduduk kota atau desa yang berkerja di bawah jam kerja normal (harian, mingguan, atau musiman), meliputi juga mereka yang berkerja secara normal dengan waktu penuh tapi produktivitasnya rendah. Sedangkan “Pengangguran Terbuka” (unemployed) adalah penduduk yang mampu dan ingin berkerja tetapi tidak tersedia lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka di Dunia Ketiga saat ini kira-kira 10% hingga 15% dari angkatan kerja perkotaan. Angka dari mereka yang setengah menganggur di perkotaan maupun pedesaan diperkirakan jauh lebih besar.

Untuk mengukur pembangunan manusia dan mutu kehidupan manusia, United Nations Development Program (UNDP) menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI). HDI mempunyai tiga komponen sebagai berikut:
1. Panjang Usia yang diukur dari harapan hidup sejak lahir;
2. Tingkat pengetahuan atau pendidikan yang diukur dari tingkat melek huruf dewasa serta lamanya bersekolah;
3. Pendapatan yang diukur dari Produk Domestik Bruto.

Sejalan dengan mulai diterapkannya paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development), dikembangkan pula indikator-indikator pembangunan yang memiliki kriteria sebagai berikut (IUCN, UNEP dan WWF, 1993):

1. Melestarikan sistem-sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati:
· Kemajuan dalam pencegahan pencemaran
· Kemajuan dalam memulihkan dan memepertahankan integritas ekosistem
· Kemajuan dalam mengembangkan sistem daerah suaka yang komprehensif
· Kemajuan dalam memulihkan dan mempertahankan spesies dan sediaan genetik

2. Menjamin keberlanjutan penggunaan sumberdaya yang dapat diperbarui dan meminimkan penipisan sumberdaya yang tak dapat diperbarui:
· Status atau kondisi sumberdaya suatu sektor
· Status atau kondisi infrasruktur ekologi suatu sektor
· Kesesuaian dan pertentangan antara suatu sektor dengan keberlanjutan sektor-sektor lainnya

3. Berusaha tidak melampaui daya dukung ekosistem:
· Konsumsi pangan, air, kayu, mineral per kapita
· Pola pertumbuhan penduduk
· Laju fertilitas total
· Kerapatan penduduk

RELEVANSINYA UNTUK INDONESIA

Catatan yang perlu dikemukan mengenai Indonesia dengan rangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)-nya, oil boom yang dimulai tahun 1973 memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak PELITA II anggaran pembangunan dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada nilai ekspor pada periode PELITA III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan dengan itu terjadi perkembangan yang memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama REPELITA III meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV kecendrungan perkembangan perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan turunnya harga minyak secara drastis di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penyesuaian (readjustment and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakan ekspor non-migas (Department of Information Republic of Indonesia 1991). Memasuki awal REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif (comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan tidak mampu bersaingnya harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di pasaran internasional. Hal itu diperberat pula dengan masalah-masalah micro economy yang tidak terselesaikan dan berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan. Akibatnya pemerintah mengalami kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan hutang luar negeri yang sudah sangat spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pula pada krisis politik sehingga Suharto, B.J. Habibie dan K.H. Abdurahman Wahid harus turun dari kursi kepresidenan hanya dalam kurun 1998-2001.
Gejala dan ekses di atas tidak lepas dari paradigma pembangunan yang diyakini sejak awal, yaitu fikiran Rostow (1971) dengan teori The Stage of Economic Growth-nya yang merupakan salah satu turunan dari teori Neo-Klasik. Agaknya memang tidak mudah keluar dari kungkungan paradigma tersebut bahkan nyaris terikat dalam pola ketergantungan seperti diterangkan oleh Arief dan Sasono (1980). Karena itu dalam suasana yang terjepit seperti di atas harus dicari jalan ketiga (the third way) dan paradigma Sustainable Development dapat memenuhi jawaban dari permasalahannya: pertumbuhan ekonomi yang disyarati dengan konservasi alam tanpa terikat dengan pola ketergantungan.

REFERENSI:

Anonim (1990)
The Interparliamentary Conference on the Global Environment. April 29-May 2, 1990. Washington D.C.

Arief, Sritua and Adi Sasono (1980)
Indonesia: Dependency and Underdevelopment. Meta, Kuala Lumpur.

Conway, G.R. and E.B. Barbier (1990)
After the Green Revolution: Sustainable Agriculture for Development. London, Earthscan Publication Ltd.

IUCN, UNEP dan WWF (1993)
Bumi, Wahana Strategi Menuju Kehidupan yang Berkelanjutan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Djajadiningrat, S.T. (1992)
Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Membangun Tanpa Merusak Lingkungan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Department of Information Republic of Indonesia (1991)
Indonesia 1991: An Official Handbook. Department of Information, Directorate of Foreign Information Services.

Pearce, D.W. and J.J. Wardford (1993)
World Without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.

Rostow, W.W. (1971)
The Stage of Economic Growth. Cambridge University Press.

Todaro, M.P. (1989)
Economic Development in the Third World, Foutrh Edition. Longman Group Limited.

TEORI DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN:
ANALISA KRITIS TERHADAP MODEL PEMBANGUNAN DI INDONESIA 1947-1995

LATAR BELAKANG

Pembangunan secara umum diartikan sebagai pemenuhan kesejahteraan individu yang meliputi pendapatan per kapita, kebutuhan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup termasuk kebutuhan akan adanya harga diri. Dalam prakteknya perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, hashab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit pada masing-masing negara.

Paradigma yang berkembang dimulai dengan Teori Pembangunan Klasik yang terpecah menjadi berbagai aliran dan menurunkan faham-faham kapitalisme dan sosialisme. Selanjutnya berkembang pula teori-teori turunan seperti Tesis Pembangunan Dualistik, Teori Perubahan Struktural, Teori Tahapan Linear, Teori Revolusi Ketergantungan Internasional, Teori Kontra Revolusi Neoklasik, dan yang terakhir Paradigma Pembangunan Berkelanjutan.

Negara-negara Sedang Berkembang (Developing Countries) banyak bereksperimentasi dengan campuran dari teori-teori di atas mulai dari yang sentralistik sampai kepada yang liberal tergantung faham idiologi yang di anut. Hal yang perlu dicatat, tidak satu pun Negara Sedang Berkembang bisa menyelesaikan masalah pembangunannya dengan hanya mengadapsi satu teori secara bulat dan utuh. Karena teori-teori pembangunan yang ada berkembang secara local spesific sehingga tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada situasi yang berbeda.

Sejak kemerdekaan tahun 1945 pembangunan di Indonesia sendiri dapat dikatakan telah berganti-ganti faham. Namun ada satu ciri yang khas, yaitu menerapkan teori-teori yang liberal namun dalam situasi yang sangat sentralistik dan peranan pemerintah sangat dominan. Namun karena situasi local spesific tidak terlalu dikenali dan didalami, selalu dihadapkan kepada keadaan dead lock baik di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru.

PEMBANGUNAN DI INDONESIA 1947 - 1965

Sejak kemerdekaan hingga tahun 1960-an, berbagai upaya perencanaan pembangunan telah dilakukan di Indonesia. Namun tidak satupun dari rencana-rencana tersebut mencapai tahap yang matang dan membuahkan hasil yang memuaskan, yaitu (Tjokroamidjoyo 1982):
· Pada tanggal 12 April 1947 dibentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Panitia ini menghasilkan rencana sementara berjudul “Dasar Pokok Dari Pada Plan Mengatur Ekonomi Indonesia”. Tapi rencana tersebut tidak sempat dilaksanakan karena perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan.
· Pada bulan Juli tahun 1947 itu juga, di bawah pimpinan I.J. Kasimo dirumuskan “Plan Produksi Tiga Tahun RI”. Tapi karena clash I dan II dengan penjajah rencana ini juga tidak sempat dilaksanakan.
· Kemudian disusun “Rencana Kesejahteraan Istimewa 1950-1951” (untuk bidang pertanian pangan) yang disusul dengan “Rencana Urgensi Untuk Perkembangan Industri 1951-1952” di bawah pimpinan Sumitro Djojohadikusumo. Rencana-rencana ini tidak berjalan dengan baik.
· Selanjutnya ada pula yang dinamakan “Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960” yang disusun oleh Biro Perancang Negara yang diprakarsai oleh Sumitro Djojohadikusumo. Namun pelaksanaannya tertunda hingga tahun 1958 dan pada tahun 1959 sudah diganti dengan rencana baru.
· Pada tahun 1960 berhasil disusun lagi “Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969”. Namun dalam kenyataannya rencana ini lebih berupa “dokumen politik” dari pada rencana pembangunan dalam arti yang sesungguhnya, tidak realistis, sehingga rencana kurang berjalan baik dan keadaan ekonomi bertambah parah.
· Dalam keadaan ekonomi yang cukup kritis disusun pula “Perencanaan Ekonomi Perjuangan Tiga Tahun” yang disebut juga “Rencana Banting Stir”. Rencana ini tidak pernah terselenggara dengan baik dan tidak mampu menolong parahnya situasi ekonomi.

Akibat tidak satupun rencana pembangunan mendatangkan hasil, keadaan ekonomi Indonesia kian bertambah parah hingga jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh kudeta Gerakan 30 September PKI pada tahun 1965.

RENCANA PEMBANGUNAN LIMA TAHUN (REPELITA) 1966-1994

Belajar dari pengalaman sebelumnya, Pemerintahan Suharto menetapkan prioritas pada stabilisasi ekonomi, terutama penurunan tingkat inflasi yang telah mencapai 600 persen pada tahun 1965 dan 1966, perbaikan keuangan pemerintah, dan rehabilitasi basis-basis ekonomi yang produktif. Pengoperasian kekuatan-kekuatan pasar digalakan dari sebelumnya, investasi modal asing diundang masuk, dan bantuan (pinjaman) luar negeri dicari secara aktif. Pemerintah meneruskan proses pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dengan tiga tujuan utama (Trilogi Pembangunan) yaitu Stabilisasi, Pertumbuhan, dan Pemerataan.) Juga perlu dicatat bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan menjadi titik tolak pembangunan dengan tujuan ganda. Pertama, kebutuhan untuk menjamin ketersediaan pangan di perkotaan dengan harga yang relatif stabil; kedua, kebutuhan untuk menjaga kendali politik di daerah pedesaan (White 1989).
Gambaran mengenai kebijaksanaan dan strategi dari REPELITA adalah sebagai berikut (Department of Information Republic of Indonesia 1991):
· REPELITA I (tahun fiskal 1969/1970 sampai 1973/1974) menekankan pada rehabilitasi perekonomian terutama peningkatan produksi pertanian serta perbaikan irigasi dan sistem transportasi.
· REPELITA II (tahun fiskal 1973/1974 – 1978/1979) difokuskan pada peningkatan standar kehidupan rakyat. Tujuan spesifik dari REPELITA II adalah memenuhi kecukupan pangan, pakaian, dan perumahan (pangan, sandang, papan); memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur, menyebarkan dan memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan; serta menyediakan lapangan kerja baru. Anggaran pembangunan untuk bidang kesejahteraan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana lebih besar dibanding dengan pada REPELITA I. Demikian juga dengan anggaran pembangunan untuk bidang industri dan pertambangan. Pembangunan pertanian dan pedesaan tetap memperoleh anggaran terbesar.
· REPELITA III (tahun fiskal 1978/1979 – 1983/1984) diarahkan kepada tiga tujuan pokok, yaitu: memperoleh distribusi yang lebih merata dari hasil-hasil pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan menjaga stabilitas nasional. Sementara itu prioritas pembangunan ditujukan pada Sektor Pertanian untuk mencapai swasembada pangan serta industri pengolahan bahan baku menjadi barang jadi.
· REPELITA IV (tahun fiskal 1984/1985-1988/1989) meletakan penekanan pada Sektor Pertanian untuk mempertahankan swasembada pangan terutama swasembada beras. Pengembangan industri diprioritaskan pada industri-industri yang bisa menghasil mesin-mesin ringan maupun berat.
· REPELITA V (tahun fiskal 1989/1990 – 1993/1994) dinilai sangat menentukan karena merupakan tahap akhir untuk persiapan menuju era tinggal landas (take off) pada periode REPELITA VI. Pada masa REPELITA V ini pembangunan pada bidang ekonomi diberikan prioritas dengan penekanan pada pembangunan pada Sektor Industri dengan didukung oleh pertumbuhan yang cukup tinggi dari Sektor Pertanian.

Catatan yang perlu dikemukan pada rangkaian REPELITA di atas oil boom yang dimulai tahun 1973 memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak PELITA II anggaran pembangunan dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada nilai ekspor pada periode PELITA III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan dengan itu terjadi perkembangan yang memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama REPELITA III meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV kecendrungan perkembangan perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan turunnya harga minyak secara drastis di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penyesuaian (readjustment and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakan ekspor non-migas (Ibid.). Memasuki awal REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif (comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan tidak mampu bersaingnya harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di pasaran internasional. Hal itu diperberat pula dengan masalah-masalah micro economy yang tidak terselesaikan dan berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan. Akibatnya pemerintah mengalami kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan hutang luar negeri yang sudah sangat spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pada krisis politik sehingga Suharto harus turun dari kursi kepresidenan.


REFERENSI:

Pearce, D.W. and J.J. Wardford (1993)
World Without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.

TODARO, M.P. (1989)
Economic Development in the Third World, Foutrh Edition. Longman Group Limited.

Tjokroamidjoyo, B. (1982)
Perencanaan Pembangunan. Jakarta, PT Gunung Agung

Department of Information Republic of Indonesia (1991)
Indonesia 1991: An Official Handbook. Department of Information, Directorate of Foreign Information Services.

Comments

Popular posts from this blog

CONTOH KERTAS KERJA PROJEK KHIDMAT MASYARAKAT : ANAK YATIM

ANALISA PEKERJAAN

KOMUNIKASI